TEMPO.CO, Jakarta - PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk memproyeksikan kinerja operasional Perseroan akan mulai menunjukkan tren pemulihan secara bertahap pada semester II tahun 2021 menyusul adanya relaksasi kebijakan pembatasan mobilitas masyarakat.
”Tidak dapat dipungkiri bahwa pemberlakuan pembatasan mobilitas masyarakat seiring melonjaknya kasus Covid-19 di Tanah Air telah berdampak signifikan terhadap keberlangsungan usaha jasa transportasi udara, tidak terkecuali bagi kami di Garuda Indonesia yang secara bisnis fundamental mengandalkan mobilitas masyarakat,” ujar Direktur Utama Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra, Selasa, 31 Agustus 2021.
Di tengah situasi pandemi Covid-19 yang masih terus berlangsung, kata Irfan, perseroan terus mengoptimalkan berbagai langkah strategis guna mengakselerasikan perbaikan kinerja usaha. Terutama, melalui konsolidasi operasi dan mendorong efisiensi dalam rangka menjaga keberlangsungan usaha Perseroan di tengah kondisi industri penerbangan global yang masih menantang saat ini.
Sepanjang Semester I 2021, Perseroan mencatatkan pendapatan usaha sebesar US$ 696,8 juta atau turun sebesar 24 persen dibandingkan pendapatan usaha pada periode yang sama tahun lalu. Lebih lanjut, pendapatan usaha Semester I 2021 tersebut dikontribusikan oleh pendapatan penerbangan berjadwal sebesar US$ 556,5 juta, penerbangan tidak berjadwal US$ 41,6 juta dan pendapatan lainnya US$ 98,6 juta.
Berdasarkan Laporan Keuangan yang diunggah di Keterbukaan Informasi Bursa Efek Indonesia, kerugian bersih yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk mencapai US$ 898,65 juta atau sekitar Rp 12,85 triliun pada periode tersebut. Nilai kerugian tersebut membesar dari sebelumnya US$ 712,72 juta atau Rp 10,19 triliun pada Semester I 2020.
Irfan mengatakan tantangan kinerja usaha yang terefleksikan melalui penurunan pendapatan usaha tersebut tidak terlepas dari trafik penumpang yang menurun signifikan imbas kebijakan pembatasan mobilitas masyarakat di tengah peningkatan kasus positif Covid-19 di Indonesia. Khususnya, dengan kemunculan varian baru Covid-19, yang mengharuskan adanya pengetatan kebijakan mobilitas masyarakat dalam penanganan pandemi.